LOGO-AK

Menyusul Ulasan Tentang Atma Boddha Kembali Anand Krishna Mengulas Karya Mahaguru Shankara dalam Buku Bhaja Govindam

 

Menyusul ulasan tentang Atma Boddha yang mendapat sambutan antusias dari para penyelam rohani, hadir di hadapan anda ulasan tentang karya Mahaguru Shankara yang unik ini, Bhaja Govindam. 

Berbeda dengan Atma Boddha yang diperuntukkan bagi para “murid umum”, karya ini dimaksudkan untuk para murid yang sudah ber-murad, berkeinginan tunggal, yaitu “menginginkan keinginan Sang Kebenaran”. Dengan kata lain, karya ini bagi mereka yang bertekad untuk “melenyapkan segala keinginan dalam Kehendak Ilahi”. 

Selami karya ini dan menyanyilah bersama Sang Mahaguru Shankara, maka hidup ini akan benar-benar menjadi perayaan, dan Anda akan menjadi selebriti sejati.

Bagi Anda yang ingin mendalami spiritual buku “Bhaja Govindam: Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” adalah sebuah buku yang kaya akan penjelasan dan makna yang mendalam. Dalam bahasa sederhana, Anand Krishna menyuguhkan kekayaan spiritual, berikut ini sedikit kutipan dari isi buku tersebut . . . .

 

 

 

Badanmu sudah loyo, rambutmu beruban; tak satu pun gigi tersisa karena usia, jalan pun haus dibantu dengan tongkat; tapi keinginan masih setinggi gunung, sungguh luar biasa!

 

Untuk meminimalkan keinginan dan mengendalikan diri dibutuhkan energi yang luar biasa. Karena itu, pengendalian diri harus dimulai dari usia muda, saat energi kita masih prima. Upaya untuk mengendalikan diri di usia senja hamper tidak pernah membawa hasil. Energi yang dibutuhkan sudah tidak ada lagi. Sedikit energi yang tersisa akan terbuang begitu saja, sia-sia, tanpa hasil.

Persis seperti saat melakukan perjalanan ke luar negeri. Bila tidak mengendalikan diri dari awal dan tidak membatasi shopping, beberapa hari menjelang akhir perjalanan, kita gelisah sendiri: “Wah, banyak amat tentengan di tanganku! Pasti kena excess baggage.” Saat check-in pun deg-degan. Untuk apa mencari masalah? Kendalikan diri sejak awal, dan perjalananmu akan berakhir dengan aman dan nyaman. Beban yang kita rasakan dalam hidup ini timbul karena ulah kita sendiri.

Kurangi beban keinginan selaghi kita masih sadar dan masih mampu mengendalikan diri. Saat ajal tiba, bila beban keinginan tidak berkurang, menderitalah jiwa kita. Jiwa dengan beban keinginan sulit berpisah dari badan. Walau sudah dikubur, ia masih gentayangan. Ini yang disebut penderitaan alam kubur.

Apa yang akan kita lakukan terhadap anak cucu kita selama ini? Kita hanya membebani mereka dengan keinginan-keinginan baru. Padahal saat lahir pun mereka sudah memikul beban lama. Ada keinginan lama untuk “membunuh” yang belum selesai, kita membebani mereka dengan keinginan untuk menjadi “orang saleh”. Hasilnya apa? Mereka menjadi pembunuh berkedok orang saleh.

Kenapa system Pendidikan kita selama ini belum berhasil? Karena kita berasumsi bahwa setiap anak yang lahir di dunia bak papan tulis yang masih bersih—tinggal kita tulisi agama, etika, dan moralitas di atasnya.  Padahal tidak demikian. Penemuan-penemuan ilmiah di bidang biologi dan psikologi membuktikan bahwa anak bayi yang baru lahir pun sudah memiliki sifat dasar. Kita perlu tahu sifat dasar anak yang baru lahir. Kemudian Pendidikan yang diberikan kepada anak itu harus sesuai dengan kebutuhannya. Bila seorang anak bayi memiliki keinginan untuk membunuh sebagai sifat dasarnya, terlebih dahulu keinginan itu harus diselesaikan lewat proses pelembutan jiwa. Baru diajarkan agama, etika, dan moralitas. Bila tidak, ia akan membunuh atas nama agama. Ia akan melakukan kekerasan atas nama etika dan moralitas.

 

Badanmu sudah loyo, rambutmu beruban, tak satu pun gigi tersisa karena usia, jalan pun harus dibantu dengan tongkat; tapi keinginan masih setinggi gunung, sungguh luar biasa!

 

Keinginan berada di balik setiap kelahiran. Keinginan bahkan berada di balik proses penciptaan.

Banyak sekali versi Genesis, Kejadian atau Penciptaan yang kita temukan dalam tradisi India Kuno. Versi-versi itu bisa saling bertentangan. Jalur ceritanya bisa berbeda sama sekali, walau intinya tidak pernah berubah……, yaitu “keinginan” sebagai dasar segala kejadian.

Versi yang diberikan dalam Shrimad Bhagavatam indah sekali: Konon yang muncul pertama adalah Sang Pencipta. Istilah “muncul” yang digunakan dalam kitab itu sungguh menarik. Berarti sebelum munculnya Sang Pencipta, Keberadaan sudah ada. Oleh karena itu dalam tradisi India Kuno, penciptaan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Penciptaan hanyalah satu aspek Keberadaan. Tuhan atau Brahman berada jauh di atas aspek-aspek itu.

Sanga Pencipta atau Brahmaa yang baru muncul (bukan Brahman atau Tuhan) bingung! Ya, Sang Pencipta pun sempat bingung: “Apa yang harus saya lakukan?”

Munculnya Sang Pencipta atau Brahmaa “kali ini” setelah kiamat “terakhir”. Bagi orang India, “kiamat” bukanlah kejadian sekali. Kiamat sudah pernah terjadi dan akan terulangi lagi, dan bukan sekali dua kali saja, tetapi berulang kali. Bahkan dalam tradisi India dikenal tiga macam kiamat atau pralaya—saat dunia benda terurai kembali dalam lima unsur alami, yaitu, api, air, angin tanah dan ruang, dan waktu tak terdeteksi lagi. Di antara tiga macam kiamat itu, ada yang disebut kiamat mini…… saat kita tidur misalnya; itulah terjadi kiamat mini. Karena saat itu kita kehilangan sense of time, waktu tak terasa lagi.

Kiamat ke dua adalah kiamat yang dirasakan oleh Sang Pencipta. Ketika ciptaannya terurai secara menyeluruh, terjadilah kiamat dunia. Kiamat inilah yang biasa dibicarakan dalam kitab-kitab agama. Saat itu, Sang Pencipta pun kehilangan jejak waktu. Seperti orang yang baru bangun tidur, ia mengalami amnesia sesaat. Ia lupa, “Apa yah, apa yah..?” Tapi sebentar saja., tak lama kemudian: “Oh ya!”

Kiamat ke tiga adalah kiamat total, ketika bukan saja galaksi kita, tetapi seluruh alam semesta terurai. Tak ada lagi yang memisahkan langit dari bumi, gelap dari terang. Entah kapan terjadinya itu, walau manusia India percaya bahwa fenomena itu pun sudah terjadi berulang kali.

Kembali pada kiamat ke dua, kiamat yang dialami oleh Sang Pencipta……

“Oh ya…..” Tak lama kemudian, ada yang menyadarkan dirinya. Terdengar suara “Ta……” Suara itu terasa familiar, Ia pun berusaha untuk mengingat kembali maknanya. “Pa…..” Terdengar suara ke dua dan Sang Pencipta pun menggabungkan kedua suara itu……”Tapa…… Ya, ya, ya, Tapa….”

Ia memahami maknanya, “Aku harus bertapa, duduk diam untuk menemukan jatidiriku. Untuk memahami maksud keberadaanku.”

“Siapa aku?

Aku berasal dari mana?

Apa maksud keberadaanku?

Apa pula yang sedang kutuju?

Itulah pertanyaan-pertanyaan awal yang muncul dalam benak Sang Pencipta. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pula yang harus muncul dalam benak seorang calon meditator. Inilah pertanyaan-pertanyaan esensial yang menjadi “sebab” meditasi.

Dalam keheningan dirinya, Sang Pencipta atau Brahmaa menemukan alat canggih untuk melakukan penciptaan, yaitu avidyaa atau Ketidaktahuan, ketidaktahuan dijadikannya sebagai katalisator untuk penciptaan. Namun demikian makhluk-makhluk pertama yang tercipta tidak membutuhkan waktu lama untuk melampaui ketidaktahuan diri. Dan, proses penciptaan pun mengalami kemandegan.

Brahmaa merenung lagi: “Avidyaa harus menciptakan ilusi berat, sehingga makhluk-makhluk yang tercipta terdorong untuk maju ke depan, tidakmundur ke belakang dan menyatu kembali dengan Sang Segala Sumber.”

Maka Avidyaa pun bercabang menjadi:

Pertama—tamisra atau “amarah”. Amarah memboroskan energi manusia dan melumpuhkan semangatnya. Ia mematahkan sayapnya, sehingga manusia betah di dunia dan hanya bias berkhayal tentang surga. Kepercayaan-kepercayaan manusia lahir dari keadaan yang tercipta karena tamisra. 

Ke dua—andastamira atau ilusi, kepercayaan keliru bahwa kematian adalah titik akhir”. Ilusi yang satu ini menyebabkan manusia berlomba untuk meraih sukses. Keinginan untuk menjadi pemenang, menjadi nomer satu dan meraih penghargaan berasal dari ilusi yang satu ini.

Ke tiga—tamas atau “tidak mengenali diri”. Ketidaktahuan tentang jatidiri itulah tamas. Karena tidak tahu sebenarnya aku siapa, pada lapisan kesadaran terendah “apa yang kumiliki kuanggap diriku”. Kadang aku mengidentifikasikan diri dengan nama keluarga yang kumiliki, kadang dengan kedudukan social, kadang dengan jabatan, kadang dengan profesi……kadang dengan badan, kadang dengan pikiran, kadang dengan perasaan….. Padahal semua itu bukanlah aku. Semua itu hanyalah kejadian-kejadian pada diriku, pengalaman-pengalaman yang kualami. Aku siapa? Selama aku belum mengenal diri, secuil alam yang disebut dunia pun kuanggap diriku.

Ke empat—moha atau “keterikatan dengan dunia benda”, atau dengan apa saja. Untuk mempertahankan “apa yang kumiliki”, atau apa yang dapat kumiliki, pepentingan orang lain dapat kuabaikan. Asal aku jaya, pusing amat mau jadi apa!

Ke liam—maha moha atau keterikatan yang lebih besar lagi, keterikatan maha—yaitu, “keterikatan pada kenikmatan”. We all crave for enjoyment, padahal kenikmatan yang kita dambakan itu belum tentu membahagiakan. Kenikmatan dirasakan oleh pancaindra. Dan, kemampuan panca indra untuk menikmati sesuatu sungguh sangat terbatas. Hingga usia 30-an tahun, banyak di anatara kita menikmati makan cokelat. Sekarang, makan manis sedikit saja kadar gula naik tidak karuan. Kemudian bila keinginan untuk makan cokelat masih ada, muncullah derita. Keinginan ada, kemampuan tak ada lagi. Nafsu gede, tenaga kurang.

Dalam ketidaktahuannya atau avidyaa, manusia menciptakan konsep-konsep tentang Tuhan, tentang tatacara keagamaan, bahkan tentang kenikmatan surga dan penderitaan neraka. Jangan lupa, bahwa avidyaa itulah alat Sang Pencipta demi berputarnya roda dunia. Dan, keinginan untuk mencipta adalah bahan bakar yang digunakan untuk menjalankan mesin dunia.

Sekarang apa mau kita?

Apa mau Anda?

 

Bagaimana?,

Menarik sekali bukan!.

Bagi Anda yang masih ingin mendalami, maka langsung saja buka lembar demi lembar buku “Bhaja Govindam: Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” untuk pembelian buku bisa menghubungi WA Order: 087885111979