LOGO-AK

Anand Krishna Beberkan Inti sari Meditasi dalam Buku Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hari”

 

Anand Krishna adalah tokoh spiritual yang pernah menderita penyakit kanker darah, dimana kemudian secara misterius Beliau sembuh dari penyakit tersebut berkat Meditasi dan Yoga yang beliau praktekan.

Bagi yang ingin mengetahui kisah Beliau yang sembuh dari penyakit kanker darah tersebut, bisa menyimak video berikut ini.

 

 

Setelah kesembuhan tersebut, kemudian Beliau mendedikasikan hidup Beliau untuk berbagi kepada siapa saja agar dapat memberdayaakan diri melalui praktek meditasi dan yoga. Ratusan buku lahir dari tangan dingin Beliau, salah satunya adalah buku “Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hariberikut ini adalah sedikit kutipan dari buku tersebut . .  .

 

 

“Many roads lead to the Path, but basically there are only two: reason and practice. To enter by reason means to realize the essence through instruction and to believe that all leaving things share the same true nature, which isn’t apparent because it’s shrouded by sensation and delusion. 

“Those who turn from delusion back to reality, who meditate on walls, he absence of self and other, the oneness unmoved even by scriptures are in complete and unspoken agreement with reason. Without moving, without effort, they enter, we say, by reason.”

 

Banyak jalan menuju Jalan Raya, tetapi sesungguhnya hanya ada dua jalan: Jalan Ananlisis berlandaskan Pengetahuan dan Jalan atau Laku Pengabdian. Memasuki alam meditasi lewat jalur pengetahuan berarti menyadari inti kehidupan lewat instruksi; meyakini bahwa pada hakikatnya segala segala bentuk kehidupan memiliki inti yang sama. Bila tampak dan terasa berbeda, hal itu semata-mata karena sensasi yang kita peroleh. Sesungguhnya perbedaan itu hanyalah ilusi, khayalan.

Mereka yang tekah melampaui dualitas dan menyadari kembali hakikat diri; mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan; mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain; mereka yang sudah tidak terpengaruh oleh kata-kata, sesungguhnya mereka pada Jalur Pengetahuan. Tanpa melakukan sesuatu, tanpa upaya, mereka memasuki Jalur Pengetahuan.

 

Bodhidharma is a man of Few Words, kosakatanya sungguh sangat terbatas. Dia tidak suka bermain dengan kata. Dia bukanlah seorang sastrawan, bukan pula seorang penyair.

Dia tidak pernah menggunakan pemanis untuk menyuguhkan the pahit racikannya. Dan, bila Anda berhadapan dengannya, dia juga tidak akan membiarkan Anda menelan begitu saja the suguhannya. Dia akan memelototi Anda untuk memastikan bahwa setiap teguk yang melewati kerongkongan Anda, terasa pahitnya.

Sepanjang hidupnya, hanya 4-5 kali dia berbicara di depan umum. Seolah dia tidak berkepentingan dengan “umum”, dengan keramaian. Dia lebih suka berdialog dengan para murid, dialog informal.

Apa yang sedang kita salami Bersama saat ini adalah salah satu ceramahnya yang tercatat secara utuh – Outline of Practice atau Inti Sari Meditasi.

 

Practice, Laku atau Praktik. Bila Bodhidharma bicara tentang practice, yang dia maksudkan adalah Sadhana – Latihan Spiritual atau Olah Rohani. Tapi, latuhan spiritual atau olah rohani jenis apa, macam apa?

Membaca buku spiritual pun dapat disebut latihan spiritual. Olah Rohani pun banyak jenisnya. Sadhana ala Bodhidharma memiliki ciri khas, corak khas, warna khas. Bagi seorang Bodhidharma, Sadhana berarti Meditasi – Meditasi berwarna Bhakti, Penyerahan Diri. Titik. Tidak terhadap apa atau siapa, but simply Surender”! 

Penyerahan Diri terhadap Kehendak-Nya pun, bagi Bodhidharma, bukanlah Penyerahan Diri – setidaknya belum total, belum sempurna.

 

Berserah Diri terhadap Kehendak-Nya bias berarti ada kehendak-kehendak lain dengan “k” kecil di luar Kehendak-Nya dengan “K” besar.

Kemudian, Kehendak-Nya bias dibenturkan dengan kehendak-kehendak lain. Gusti yang satu bisa dibenturkan dengan gusti-gusti lain.

Tidak, bukan berserah diri seperti itu yang dimaksud oleh Bodhidharma. Bodhidharma tidak melihat sesuatu di luar-Nya dalam ala mini. Segala sesuatu berasal dari Nya, bahkan adalah Dia, Dia, dan hanya Dia.

Jadi, cukup berserah diri. Titik. Berserah diri dalam pengertian menyerahkan ego, ke-aku-an.

 

Lewat Wejangan yang Satu ini, Bodhidahrma menyampaikan segala apa yang ingin disampaikannya. Tanpa ba-bi-bu, tanpa basa-basi, tanpa formalitas.

Dia menyampaikan kebenaran sebagaimana adanya, atau sebagaimana dipahaminya. Pahit ya pahit, manis yam manis, pedas ya pedas, asin ya asin, asem ya asem, hambar ya hambar.

Dia tidak memasukkan serbuk obat pahit ke dalam kapsul, supaya lebih mudah ditelan. Tiada pula madu atau pemanis lain untuk mengurangi rasa pahit obat cair.

Siapkah Anda? Siapkah kita?

 

Banyak Jalan Menuju Jalan Raya. Bukan banyak jalan menuju Roma, menuju tujuan; tetapi menuju Jalan Raya, Jalan Utama, The path! 

Yang dimaksud dengan The Path atau Jalan Raya adaah Dhyana, chan, zen, meditasi! Begitu banyak cara untuk memasuki alam meditasi., seperti halnya begitu banyak jalan tikus menuju Jalan Raya. Tapi, Jalan Raya itu sendiri satu adanya, dan itulah Meditasi!

Bagi Bodhidharma, meditasi bukanlah salah satu jalan, tetapi satu-satunya jalan. Seperti apa Jalan Raya atau Jalan Utama itu, sesaat lagi dia akan menjelaskannya. Definisi dia tentang meditasi pun barangkali tidak sama dengan definisi-definisi kita selama ini, definisi-definisi populer yang tidak jelas maksudnya apa.

 

Banyak Penulis tentang Meditasi, Dhyana, chan atau zen, yang bahkan tidak pernah melakoni meditasi. Sulit percaya, kan?

 

Namun seperti yang saya telah sampaikan di depan, jika Anda seorang meditator dan membaca buku seperti itu, Anda akan langsung tahu bahwa si penulis bukan pelaku.

Penekanan seorang pelaku meditasi bukanlah pada tujuan, melainkan pada laku itu sendiri. Seorang pelaku meditasi tidak pernah memikirkan tujuan.

Bodhidharma bahkan, merasa tidak perlu bicara tentang tujuan. Karena tujuan tak akan ke mana-mana. Yang penting adalah jalan menujunya.

 

Tetapi, Sesungguhnya Hanya Ada Dua Jalan: Jalan Pengetahuan dan Jalan Pengabdian. Sekian banyak jalan kecil, jalan tikus dikelompokkannya menjadi dua saja.

Kelompok Pertama mewakili Otak, Pikiran, Mind – jalan yang banyak diminati. Kelompok ke dua mewakili Hati Nurani, Rasa Terdalam , the Innermost Feelings – jalan yang tidak banyak diminati.

Di antara para pengguna otak saja, banyak yang bahkan tidak tahu bila ada pilihan lain, bila ada jalan lain, ada opsi lain yang bias dicoba.

 

Jalan Pertama, Jalan Pengetahuan Jnana atau Gyana – menuntut analisis, reasoning: Ini tidak, ini bukan…. Itu pun tidak, itu pun bukan.

Dengan cara itu, seorang Sadhaka atau Pelaku Spiritual memebebaskan diri dari segala belenggu untuk menemukan Kebenaran.

Namun sebelumnya, untuk kita pahami Bersama, tidak semua orang yang kita anggap sebagai Sadhaka adalah sadhaka atau pelaku spiritual.

Banyak di antara mereka yang sesungguhnya masih mencari. Mereka adalah para jijnasu atau jigyasu, seekers, pencari.

Namun, Jigyasu atau Seekers pun Bukanlah Pencari Biasa yang senang dan sudah puas dengan window shopping. 

Para window shoppers memiliki segudang informasi. Mereka mengetahui ihwal apa saja, tanpa memiliki pengalaman pribadi.

Zaman Now adalah zaman para window shoppers, yang sangat pintar membuat daftar berdasarkan apa yang mereka lihat: 7 kiat menuju ini, 5 kiat menuju itu, dan sebagainya. Banyak pula yang mengagumi kemampuan mereka dalam menyimpulkan “segala hal yang berat menjadi so simple!”

 

Baru-Baru ini Saya Bertemu dengan seorang kolektor buku-buku kita seperti itu. Ratusan judul dalam beberapa Bahasa yang dikuasi oleh sang kolektor.

Saya menemukan beberapa judul terjait dengan kesuksesan. Ada yang menyimpulkan kesuksesan dalam 7 butir, ada juga dalam belasan, bahkan puluhan butir.

Di atas rak buku, saya juga menemukan poster dengan tulisan 100 Kiat Menuju Kesuksesan Sejati. Sambal menunjuk poster, sang kolektor mengatakan dengan bangga: “Semua kiat yang ada dalam buku-buku ini telah saya gabung. Ada beberapa yang dobel, saya ambil salah satu saja.”

Saya tidak ingin menyinggung perasaannya. Tetapi, just think,  adalah seorang pun diatara pembaca yang bias mengingat 100 kiat?

 

Seorang Pencari, Jigyasu atau Seeker bukan window shopper, bukanpula seorang professional learner, pembelajar yang senang mengumpulkan sertifikat, ijazah, tanda kehadiran, title, dan sebagainya.

Seorang pencari, jigyasu atau seeker sedang mencari sesuatu yang spesifik – dia sedang mencari kebenaran di dalam diri sendiri.

Dalam perjalanan batinnya, barangkali dia mencari seorang guru – namun, guru pun bukan guru sembarang. Dia tak akan mencari seorang guru yang memiliki focus pada hal-hal di luar diri.

Supaya jelas, guru yang dimaksud dalam hal ini bukan seperti guru di sekolah, atau seorang dosen saat kuliah. Guru yang dimaksud adalah Guru Sejati, seorang Pemandu Rohani.

 

Mereka yang Sedang Mencari Kesaktian; mereka yang sedang mengejar ilmu-ilmu gaib dan sebagainya bukanlah seorang pencari, jigyasu atau seeker.

Ia seorang murid biasa yang sedang mendalami suatu ilmu atau seni. Ia masih mencari informasi untuk menambah pengetahuan dalam berbagai cabang ilmu.

Ia boleh saja menganggap dirinya sebagai pencari kebenaran. Namun, kebenaran yang dicarinya hanyalah bayang-bayang kebenaran di luar diri. Mereka belum mencari kebenaran di dalam diri.

 

Bodhidharma Tidak Berbicara dengan para murid, para siswa, maupun para pencari kebenaran di luar diri.

Bahkan, dalam wejangannya yang satu ini, dia pun tidak berbicara dengan para jigyasu, seeker, atau pencari kebenaran dalam diri.

Dia sedang berbicara dengan para sadhaka, para penggali kebenaran di dalam diri. Para sadhaka, para penggali kebenaran di dalam diri. Para sadhaka adalah jigyasu, seeker atau pencari, yang sudah menemukan kebenaran di dalam diri.

Seorang sadhaka tidak lagi mencari kebenaran. Ia sudah yakin bahwa kebenaran itu ada di dalm dirinya, tingal digali, diungkapkan.  

 

 

Bagaimana ?

Sangat menarik bukan. Bagi Anda yang masih tertarik untuk mendalami penjelasan Beliau, silahkan membaca buku-buku buah karya Beliau yang bisa di dapatkan di sini!